Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang bercita-cita untuk menjadi
satu Negara besar, kuat, disegani dan dihormati keberadaanya di
tengah-tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Setelah kemerdekaan
pencapaian cita-cita ini belum menunjukkan tanda-tanda menggembirakan.
Optimisme mencapai cita-cita itu terus-menerus diharapkan, namun ditemui
berbagai macam tantangan. Semangat nasionalisme dalam menegakkan dan
membangun NKRI seakan-akan tidak dapat diimbangi karena begitu
banyaknya persoalan-persoalan yang harus diselesaikan bangsa ini.
Mencuaknya beberapa hal yang bergeser dari nilai dan norma yang harus
dijunjung tinggi, penegakan hukum yang belum terwujud, dampak demokrasi
yang tidak diinginkan, karakter manusia yang semakin merosot. Ini semua
merupakan dampak sikap orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada
rasa memiliki akan bangsa yang hanya bersikap mengutamakan kepentingan
pribadi di atas kepentingan umum.
UU No.20 tahun 2003 Sisdiknas, menegaskan bahwa Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan iman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah
daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak
boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesem-purnaan hidup anak-anak
kita. Pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita
Upaya pemerintah melalui Permendiknas No.23 tahun 2006, mengamanatkan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berperilaku sesuai Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 Tentang pendidikan Nasional. Pada SKL SMA/MA mengupayakan peserta didik dapat memiliki :
(1) Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut sesuai dengan
perkembangan remaja; (2) Mengembangkan diri secara optimal dengan
memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya; (3)
Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku,
perbuatan, dan pekerjaannya; (4) Berpartisipasi dalam penegakan
aturan-aturan sosial; (5) Menghargai keberagaman agama, bangsa, suku,
ras, dan golongan sosial-ekonomi dalam lingkup global; (6) Membangun dan
menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan
inovatif; (7) Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif,
dan inovatif dalam pengambilan keputusan; (8) Menunjukkan kemampuan
mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri; (9) Menunjukkan
sikap kompetitif & sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik;
(10) Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah
kompleks; (11) Menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam dan
sosial; (12) Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara secara demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (13) Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya;
(14) Mengapresiasi karya seni dan budaya; (15) Menghasilkan karya
kreatif, baik individual maupun kelompok; (16) Menjaga kesehatan dan
keamanan diri, kebugaran jasmani, serta kebersihan lingkungan; (17)
Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun; (18) Memahami
hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
(19) Menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang
lain; (20) Menunjukkan ketrampilan membaca dan menulis naskah secara
sistematis dan estetis; (21) Menunjukkan ketrampilan menyimak, membaca,
menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris; (22)
Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan tinggi.
Dari beberapa poin diatas ada 11 dari 22 Kompetensi Sangat dekat dengan pembentukan karakter seorang peserta didik.
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena
turut menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu
dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa emas namun
kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Thomas Lickona (seorang
profesor pendidikan dari Cortland University) dalam quari (2010:8)
mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda jaman yang kini terjadi, tetapi
harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju jurang kehancuran.
10 tanda jaman itu adalah: (1) Meningkatnya kekerasan di kalangan
remaja/masyarakat; (2) Penggunaan bahasa dan kata-kata yang
memburuk/tidak baku; (3) Pengaruh peer-group (geng) dalam tindak
kekerasan, menguat; 4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba; alkohol dan seks bebas; (5) Semakin kaburnya
pedoman moral baik dan buruk; (6) Menurunnya etos kerja; (7) Semakin
rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) Rendahnya rasa
tanggung jawab individu dan kelompok; (9) Membudayanya
kebohongan/ketidakjujuran; dan (10) Adanya rasa saling curiga dan
kebencian antarsesama.
Hakekat Karakter
Menurut Simon Philips dalam quari (2010: 10), karakter adalah
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi
pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema
dalam quari (2010:12) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau
sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
yang diterima dari lingkungan. Sementara Winnie dalam quari memahami
bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan
bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak
jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan
perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka
menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia.
Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang
baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character)
apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
Dari pendapat di atas dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan
kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang
berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu)
positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit
mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau
berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang
negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman dalam
quari (2010: 16) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’
dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur
psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama
dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi
besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam
membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain,
dan bangsanya.
Pendidikan Karekter
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang
dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab.
Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi
lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai
(enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang
menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup
sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang
tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi
pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2)
kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas
untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan
mengembangkan ketrampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi
kinestetis.
Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949
pernah berkata bahwa “Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan,
keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi,
manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa
yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar
dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau
hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan
ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan
atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
Urgensi pengembangan karakter dalam dunia pendidikan dirasa sangat
berpengaruh dan penting dalam membentuk kepribadian dan watak para
pemimpin masa depan bangsa karena “Selama dimensi karakter tidak menjadi
bagian dari kriteria keberhasilan dalam pendidikan, selama itu pula
pendidikan tidak akan berkontribusi banyak dalam pembangunan karakter”
(I Gedhe Raka), dan ”Dalam kenyataanya, pendidik berkarakterlah yang
menghasilkan SDM handal dan memiliki jati diri. Oleh karena itu, jadilah
manusia yang memiliki jati diri, berkarakter kuat dan cerdas.”
Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (mengejawantah) dalam diri
seseorang, sehingga ia menjadi orang yang berkarakter baik (good
character), memiliki sikap jujur, sabar, rendah hati, tanggung jawab dan rasa hormat, yang
tercermin dalam kesatuan organisasi pribadi yang harmonis dan dinamis.
Tanpa nilai-nilai moral dasar (basic moral values) yang senantiasa
mengejawantah dalam diri pribadi kapan dan di mana saja, orang dapat
dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaannya. Manusia yang berkarakter
diharapkan mampu untuk : (1) Sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sadar
sebagai makhluk muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam
sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai
transendensi; (2) Cinta Tuhan. Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan
meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan.
Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang mencintai
Tuhan akan menjalankan apapun perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya;
(3) Bermoral. Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu,
dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral; (4) Bijaksana.
Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan
wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai
kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman
nilai-nilai kebinekaan; (5) Pembelajar sejati. Untuk dapat memiliki
wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang
pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan
luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman
nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil
kekuatan dari sekian banyak perbedaan; (6) Mandiri. Karakter ini muncul
dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan persamaan
subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama
manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiahaman bahwa tiap manusia dan
bangsa memiliki potensi dan samari sebagai bangsa; (7) Kontributif.
Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.
Pendidikan dilaksanakan dari, untuk, dan oleh manusia, berisi hal-hal
yang menyangkut perkembangan dan kehidupan manusia serta
diselenggarakan dalam hubungan antar manusia itu sendiri. Prayitno
(2010:44) mengungkapkan bahwa dalam sosok manusia mengandung tiga
komponen dasar yaitu hakikat manusia, dimensi kemanusiaan, dan pancadaya
kemanusiaan. Sosok kemanusiaan itu selanjutnya disebut sebagai harkat
dan martabat Manusia (HMM).
Hakekat manusia menurut Prayitno (2010:44), ada lima unsur yang
menegaskan bahwa manusia adalah ciptaan Allah dalam kondisi: (1) Beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa; (2) Diciptakan paling
sempurna; (3) Berderajat paling tinggi; (4) Berstatus sebagai khalifah
di muka bumi; (5) Menyandang hak asasi manusia.
Prayitno (2010: 45) mengungkapkan bahwa Dimensi kemanusiaan yang
dimiliki oleh manusia terdiri dari 5 dimensi yaitu: (1) Dimensi
kefitrahan, kata kunci kebenaran dan keluhuran; (2) Dimensi
keindifidualan, dengan kata kunci potensi dan perbedaan; (3) Dimensi
kesosialan, kata kunci komunikasi dan kebersamaan; (4) Dimensi
kesusilaan, dengan kata kunci nilai dan moral; (5) Dimensi keberagamaan,
kata kunci iman dan taqwa. Kesatuan kelima dimensi kemanusiaan ini
dapat mewujudkan karakter – cerdas seseorang dalam kehidupan
sehari-hari.
Panca kemanusiaan, sang pencipta memberikan perangkat dasar potensi
kemanusiaan yang disebut pancadaya. Pancadaya yang dimaksud adalah: (1)
Daya taqwa; (2) Daya Cipta; (3) Daya rasa; (4) Daya Karsa; (5) dan Daya
karya. Dengan lima daya tersebut manusia berkembang dalam budaya dan
kemampuan kemanusiaannya. Melalui pengembangan kelima daya itu pula
kehidupan yang berkarakter-cerdas ditumbuh-suburkan.
Tiga komponen dasar manusia seutuhnya sebagaimana telah diuraikan di
atas dapat disarikan dengan rumusan lima- i, yaitu: (1) Iman dan taqwa
meliputi kaidah agama; (2) Inisiatif berarti semangat, kemauan untuk
memulai dan mencoba, berdaya upaya, pantang menyerah, untuk mencapai
sesuatu yang berguna; (3) Industrius berarti bekerja keras, tekun,
disiplin, produktif, pertimbangan nilai tambah, jujur, jiwa wira usaha;
(4) Individu mencakup kualitas potensi, perbedaan kedirian individu dan
kemandirian; (5) Interaksi mengandung makna keterkaitan individu yang
satu dengan individu lainnya.
PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN HOLISTIK
Pendidikan holistik membentuk manusia secara utuh (holistik) yang
berkarakter yaitu mengembangkan aspek/potensi spiritual, potensi
emosional, potensi intelektual (intelegensi & kreativitas), potensi
sosial, dan potensi jasmani siswa secara optimal. Membangun karakter itu
harus dimulai sedini mungkin, atau bahkan sejak dilahirkan, dan harus
dilakukan secara terus menerus dan terfokus, Pendidikan holistik juga
untuk membentuk manusia pembelajar sepanjang hayat yang sejati (life
long learners). Di samping itu, pendidikan karakter juga mengembangkan
semua potensi anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini,
perkembangan anak harus seimbang, baik dari segi akademiknya maupun segi
sosial dan emosinya. Pendidikan selama ini hanya memberi penekanan pada
aspek akademik saja dan tidak mengembangkan aspek social, emosi,
kreativitas, dan bahkan motorik. “Anak hanya dipersiapkan untuk dapat
nilai bagus, namun mereka tidak dilatih untuk bisa hidup.
PENDIDIKAN HOLISTIK
Pendidikan Holistik memiliki ciri kurikulum sebagai berikut: (1)
Spiritualitas adalah jantung dari setiap proses dan praktek
pembelajaran; (2) Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan
keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus diajak untuk
berhubungan dengan dirinya yang paling dalam (inner self, sehingga
memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus bergantung sepenuhnya
kepada pencipta Nya; (3) Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara
berpikir analitis/linier tapi juga intuitif; (4) Pembelajaran
berkewajiban menumbuhkembangkan potensi kecerdasan jamak (multiple
intelligences); (5) Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa tentang
keterkaitannya dengan komunitasnya, sehingga mereka tak boleh
mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan manusiawi, serta
pemenuhan kebutuhan yang tepat guna (jawa: nrimo ing pandum; anti
konsumerisme); (6) Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk
menyadari hubungannya dengan bumi dan “masyarakat” non manusia seperti
hewan, tumbuhan, dan benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah)
sehingga mereka memiliki kesadaran ekologis; (7) Kurikulum berkewajiban
memerhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan
transdisipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa;
(8) Pembelajaran berkewajiban mengantarkan siswa untuk menyeimbangkan
antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif,
antara isi dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara
rasional dengan intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif; (9)
Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan memperluas
cakrawala; (10) Pembelajaran adalah sebuah proses kreatif dan artistik.
Urgensi Pendidikan holistik karena merupakan Kunci sukses dalam
menghadapi tantangan berat dalam hidup itu terletak pada kualitas
sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya. Oleh
karena itu perlu implementasi penyelenggaraan pendidikan holistik secara
baik. Beberapa hal yang mendapat penekanan lebih dalam menerapkan model
pendidikan karakter. Pertama, “Knowing the good. Untuk membentuk
karakter, anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik,
namun mereka harus dapat memahami mengapa perlu melakukan hal tersebut.
“Selama ini banyak orang yang tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun
mereka tidak tahu apa alasannya melakukan hal yang baik dan meninggalkan
hal-hal yang tidak baik. Jadi masih ada gap antara knowing dan acting,”. Berikut ini dapat diuraikan 9 Indikator pendidikan karakter yaitu : (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya (love God, trust, reverence, loyalty); (2) Tanggung jawab Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness); (3) Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful); (4) Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience); (5) Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation); (6) Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm); (7) Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership); (8) Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty); (9) Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan; (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
FUNGSI DAN PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER MURID
Pendidik (guru) yang profesional mempunyai tugas utama yaitu: (1)
Mendidik; (2) Mengajar: (3) Membimbing;(4) Mengarahkan; (4) Melatih;
(5) Menilai dan mengevaluasi. Dalam mengemban tugas utama seorang guru
yang profesional harus memiliki beberapa indikator yang berkarakter.
Indikator yang berkarakter dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Memiliki
Pengetahuan yang luas dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
secara aktif; (2) Meningkatkan kualitas keilmuan secara berkelanjutan;
(3) Zuhud dalam kehidupan, mengajar dan mendidik untuk mencari ridho
Tuhan; (4) Bersih jasmani dan rohani; (5) Pemaaf, penyabar, dan jujur;
(6) Berlaku adil terhadap peserta didik dan kepada semua stakeholders
pendidikan (7) Mempunyai watak dan sifat robbaniyah yang tercermin dalam
pola pikir, ucapan, dan tingkah laku; (8) Tegas bertindak, profesional,
dan proporsional; (9) Tanggap terhadap berbagai kondisi yang mungkin
dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola pikir peserta didik; (10)
Menumbuhkan kesadaran diri sebagai da’i.
Prayitno mengungkapkan lima pilar untuk belajar yaitu : (1) Belajar
untuk mengetahui (learning to know); (2) Belajar untuk melakukan
(learning to do); (3) Belajar untuk hidup bersama (learning to live
together); (4) Belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be); (5)
Belajar beriman dan bertaqwa (learning to beliaeve in God). Pilar yang
yang dijelaskan di atas merupakan pilar yang di pegang teguh untuk
menghasilkan manusia yang berguna, berkarakter, tentunya dalam
pencapaiannya menjadi usaha yang sinergi antara pendidik dan peserta
didik. Bila pilar belajar ini diaktualisasikan menjadi prinsip dalam
kepribadian peserta didik yang dikondisikan dengan baik oleh pendidik
melalui proses pembelajaran dan penyampaian materi, kita yakin dan
percaya karakter yang diharapkan itu dapat terwujudkan.
Penutup
Dalam Membentuk karakter melalui satuan pendidikan sebaiknya harus
mendapatkan perhatian serius dari penyelenggara proses pembelajaran di
berbagai satuan pendidikan. Berusaha semaksimal mungkin penerapanya
melalui merencanakan pengajaran, pelaksanakan pengajaran , penilai,
mengevaluasi, dan tindak lanjut. Tidak mengarah hanya bidang akademik
tetapi seimbang dengan pembinaan dan pembentukan karakter calon pemimpin
bangsa sehingga ketika menjadi sebagai pemimpin mampu berkarakter yang
baik dan positif bagi orang lain atau lingkungannya.
Daftar pustaka
Majelis Luhur persatuan Taman siswa, 1961. Karja Ki Hadjar Dewantoro.Yogyakarta: Pertjetakan Taman Siswa.
Prayitno, 2009. Dasar Teori dan Praktis Pendidikan. Jakarta: Grasindo Gramedia
Prayitno, 2010. Pendidikan karakter Dalam Membangun Bangsa Medan. Pasca Sarjana Unimed.
Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2006. Tentang Standar Lulusan. Kompetensi
Undang-undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional.
Quari, 2010. Agama Nilai Utama Dalam Membangun Karakter Bangsa. Medan: Pasca sarjana Unimed.
Zainal, 2009. Menjadi Guru Profesional Berstandar Nasional. Bandung: Yrama Widya