Oleh: Rosalusyana Telaumbanua
(Mahasiswa STP DM Tingkat II - Kelas Pastoral)
Hos. 6:1-6; Luk. 18:9-14
Kitab
Hosea hari ini, mengisahkan tentang bagaimana sikap dan perbuatan orang Israel
yang berpura-pura melakukan
pertobatan kepada Allah dengan mempersembahkan korban sembelihan kepadaNya. Padahal,
Allah lebih menyukai kasih setia dan pengenalan akan Dia dari pada korban
sembelihan. Injil hari ini, juga mengisahkan tentang bagaimana Yesus
menyampaikan perumpamaan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar
dan memandang rendah semua orang. Perumpamaan itu tentang sikap doa seorang Farisi
dan pemungut cukai. Doa orang Farisi menunjukkan kesombongan dengan tidak
merasa bersalah di hadapan Allah, sedangkan pemungut cukai berdoa dengan sikap
rendah hati dan menyesal atas dosa-dosanya.
Manusia
memiliki akal budi untuk mengatur hidupnya termasuk mengatur bagaimana kita
beragama, berdoa, memberi persembahan, beramal, dan lain-lain. Akan tetapi,
kita melupakan satu hal yang paling penting yakni setia mengenal Tuhan dan
melakukan kehendakNya. Tuhan mengharapkan kesetiaan kita kepadaNya yaitu kesetiaan
yang tumbuh karena pengenalan yang mendalam tentang Dia dan melaksanakan
kehendakNya, bukan kesetiaan yang sebatas ungkapan lahiriah yang dangkal.
Orang
Farisi dalam Injil hari ini gagal dalam menjalin relasi dengan Tuhan, karena dalam
doa-doanya ia lebih memuliakan dan membanggakan dirinya; ia hanya patuh pada
hukum agama yang dibuatnya sendiri; ia tidak melihat bahwa segala yang ia
miliki itu adalah pemberian Tuhan padanya; baginya Tuhan hanya pelengkap
hidupnya saja, bukan tujuan hidupnya. Berbeda dengan pemungut cukai, ia justru
sangat rendah hati dan berdosa di hadapan Tuhan; ia menjadikan Tuhan sebagai
kekuatan dan pegangan pemberi hidup baginya; Tuhan adalah harapan hidupnya yang
dapat mengampuni dan memulihkan hidupnya dari dosa, sehingga Yesus menegaskan
bahwa pemungut cukai ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan oleh
Allah.
Dalam
Injil hari ini kita melihat dua sisi yang berbeda, di mana orang Farisi
memiliki sikap sombong dan menganggap rendah semua orang, sedangkan pemungut
cukai ia memiliki sikap rendah hati dan merasa bersalah di hadapan Allah.
Rendah hati merupakan pancaran kesadaran bahwa
hidup ini hanya berarti karena adanya Tuhan dan sesama manusia.
Sedangkan kesombongan merupakan pancaran pengingkaran terhadap peran Tuhan dan
sesama dalam hidup. Sikap sombong ini sangat jelas kepada orang-orang Israel
dalam bacaan pertama, mereka melakukan pertobatan kepada Tuhan dengan
berpura-pura, tidak dengan kesungguhan hati mereka.
Kita
juga sebagai pengikut Kristus dan pelayan Sabda-Nya, hendaknya kita memiliki
sikap rendah hati dan tidak melihat orang lain rendah, sebab manusia banyak
berdoa tetapi semua itu akan sia-sia, jika tidak disertai dengan kerendahan dan
ketulusan hati. Kemungkinan besar, hampir setiap hari kita tidak pernah
ketinggalan untuk berdoa dan beribadat dengan menyampaikan pujian dan ujud-ujud
doa kita. Maka, hendaknya semua doa-doa yang kita sampaikan tumbuh dari dalam
hati yang tulus, bukan atas kesombongan ataupun ingin meninggikan diri, sebab
tak ada iman dan doa sejati jika tanpa kerendahan hati. Untuk itu, sebagai
pertanyaan refleksi untuk kita: “Mampukah kita menumbuhkan kerendahan hati
seperti pemungut cukai lewat doa-doa dan sikap kita setiap hari?”
Semoga, Amin.
![]() |
Pembaca Injil |